Budaya Etika
Manusia untuk memahami
etika tentu saja melalui suatu proses yang disebut enkulturasi yang dapat
diterjemahkan dengan istilah yang lebih sederhana yaitu "pembudayan".
Dalam proses ini
seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya
dengan adat-istiadat, norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Sejak kecil proses enkulturasi sudah dimulai dalam alam warga
sesuatu masyarakat: mula -mula dari orang didalam lingkungan keluarganya,
kemudian dari teman -temannya bermain. Seringkali ia belajar dengan meniru
berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi
motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam
kepribadiannya.
Dengan berkali-kali
meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur
tindakannya "dibudayakan".
Terkadang berbagai
norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian, dengan
mendengar berbagai orang dalam satu ingkungan pergaulannya pada saat-saat yang
berbeda-beda, menyinggung atau membicarakan norma tadi. Tentu juga norma yang
diajarkan kepadanya dengan sengaja tidak hanya dalam lingkungan keluarga, dalam
pergaulan diluar keluarga, tetapi juga fomal di sekolah.
Di samping
aturan-aturan masyarakat dan negara yang diajarkan di sekolah melalui mata
pelajaran antara lain: Agama, PPKN, Ketatata negaraan, ilmu
Kewarganegaraan/Kewiraan dan lain-lainnya, juga aturan sopan santun bergaul
seperti budi pekerti, tata boga, bahasa daerah yang dapat diajarkan secara
formal.
Pada saat ini topik
tentang pengembangan budaya etika menjadi pembicaraan di kalangan para pemimpin
perusahaan kelas dunia baik di Amerika maupun Eropa. Tujuan pengembangan budaya
etika adalah meningkatkan kualitas kecerdasan emosional, spiritual dan budaya
yang diperlukan oleh setiap pemimpin bisnis sehingga dapat memperlancar proses
pengelolaan bisnis yang digeluti. Oleh karena itu mereka meyakini bahwa hanya
budaya etikalah yang dapat menyelamatkan bisnis mereka di masa depan. Hal ini
muncul dari hikmah atas peristiwa krisis ekonomi dan keuangan dunia yang
berawal di Amerika dimana penyebab utama dari peristiwa tersebut adalah tidak
berjalannya etika bisnis dengan dukungan manajemen risiko yang kuat. Para ahli
manajemen beranggapan bahwa krisis terjadi akibat beberapa perusahaan tidak
menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan baik dan benar. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa belajar dari peristiwa krisis itulah maka pada saat ini para
pemain bisnis global semakin menyadari pentingnya mengembangkan budaya etika
berbasis prinsip-prinsip GCG dan nilai-nilai perusahaan.
Dengan dikembangkannya
dan dimanfaatkannya budaya etika oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia
terkemuka di Amerika dan Eropa, maka pada saat ini di belahan dunia lain banyak
perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan budaya etika yang dianggap sebagai
penyelamat bisnis mereka di masa depan. Gejala ini sangat menarik, mengingat
penerapan GCG dan nilai-nilai perusahaan dalam dunia bisnis masih merupakan
merupakan hal yang baru, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia sendiri
tampaknya belum terdengar adanya upaya pengembangan budaya etika. Namun seperti
biasanya apabila di luar negeri upaya tersebut semakin santer terdengar baru
orang-orang Indonesia memikirkan untuk mengembangkannya. Penulis memperkirakan
sekitar lima sampai septuluh tahun lagi budaya etika baru akan menjadi suatu
isu atau trend dalam bidang manajemen di Indonesia. Mengapa? Karena di masa
depan akan banyak perusahaan di Indonesia yang berniat menjadi perusahaan kelas
dunia.
Tujuan Pelatihan
Setelah mengikuti
Pelatihan Budaya Etika ini, peserta diharapkan memiliki pengetahuan untuk:
1.
Memberikan pengetahuan dan keterampilan
tentang cara mengembangkan budaya perusahaan kepada peserta pelatihan.
2.
Memberikan rekomendasi dalam pembuatan
kebijakan pengembangan budaya perusahaan dan pemecahan masalah yang terkait
dengan upaya cara pengembangan budaya perusahaan.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar